“Selamat
pagi, Sayang. Selamat tanggal 1 untuk yang ke 17 kita sayang. Maafin aku kalau
aku belum bisa buat ayang bahagia. Sayang, semangat ya dalam hal apapun, jangan
males malesan, AKU AKAN PULANG SAYANGKU. Aku akan memeluk erat ayang, elus
rambut ayang, dan aku akan cium kening ayang, aku akan pulang sayang, sabar
sebentar ya. Aku akan bersamamu sayangku, kita akan merayakan anniv kita bersama, kita akan bermain
bersama dan memasak bersama.
With love,
Dia”
Dia,
yang selalu saja menulis ‘surat’ lucu dan berhasil membuat diriku berkaca kaca.
Entah mengapa aku se cengeng itu. Andai saja dia ada disini, akan aku jambak
rambut ikalnya.
Ah,
sayang saja dia tak ada disini, disampingku.
Oiya,
perasaanku telah reda karena dia yang tak jadi pulang ke Bandung. Aku berpikir
bahwa aku tak boleh egois. Aku percaya bahwa dirinya akan berpulang pada
diriku. Oh, bukan. Bukan aku kepedean soal dia yang akan menyebutku sebagai
rumah. Tapi hatiku yang berkata seperti itu.
Aku
percaya benar benar percaya, bahwa hati kita mempunyai rumah masing masing.
Sejauh apapun kita pergi, sebanyak apapun nafas terhembus, sepenuh apapun beban
pikiran, kita pasti akan menemukan seseorang yang disebut sebagai rumah.
Aku
jelaskan sekali lagi, dia yang disebut sebagai rumah itu yang benar benar
bertindak seperti layaknya sandaran hati.
aku
menganggap bahwa seseorang yang mempunyai suatu hubungan akan berpikiran bahwa
sang pasanganlah rumahnya, tapi tidak, bagi beberapa orang diluar sana.
Kita
mempunyai seseorang pasangan, tapi kita menjatuhkan hati pada yang lain, yaitu,
jatuh hati kepada orang yang bisa mengerti kondisi kita, memahami apa maksud
hati, mendengarkan apa cerita yang menjadi beban selama ini, tempat keluh kesah
yang tak bosan sama sekali, atau bahkan teman nyaman untuk berbincang soal
apapun.
Balik
lagi ke dia, dia sudah punya yang aku sebutkan tadi. Tapi dia lebih dari itu,
dia bukan rumah bagiku. Tapi, istana.
Aku
ingin mengajak kalian ke istana tersebut, but,
let me be your tour guide.